Islamedia –  Kemarin saat saya pulang ke kampung halaman, saya sempat menghadiri resepsi pernikahan tetangga sebelah rumah. Umumnya pesta-pesta pernikahan di kota kelahiran saya, Binjai, selalu ada sesi undangan yang menyumbangkan lagu. Hal yang menarik perhatian saya kali ini adalah antusiasme dan kemesraan yang disajikan si penyumbang lagu. Berdua, suami-istri, mereka menyanyikan tiga lagu sekaligus dengan penuh penghayatan. Sempat saya menggumam dalam hati memuji kedekatan dan kekompakan pasangan ini. Padahal usia mereka tak lagi muda, tapi masih sangat kompak dan serasi sekali baik dalam penampilan berpakaian maupun saat menyanyi.

Tetapi celetukan tak sengaja saya memuji kekompakan mereka ditepis oleh tamu sebelah saya dan didukung keterangan nenek sebelah yang notabenenya adalah ibu dari si lelaki yang menyanyi. Rupa-rupanya status mereka saat menikah adalah duda dan janda. Bukan statusnya yang disayangkan, namun proses menuju pernikahan itu yang harus diambil pelajaran. Sebelumnya beliau berdua sudah memiliki istri dan suami masing-masing. Si pria dengan empat anak dan si wanita dengan tiga anak. Rumah mereka tadinya berhadap-hadapan. Entah karena interaksi yang berkelanjutan, entah karena mata yang tak kuasa untuk terus memandang, singkat cerita mereka berdua pun saling jatuh cinta. Tentu saja keluarga menentang, apalagi si nenek yang sudah menganggap menantu perempuannya itu menantu kesayangan. Tapi apatah lagi hendak dikata, mereka benar-benar dimabuk cinta. “Namanya sudah cinta, mau gimana lagi?”. Maka mereka pun bercerai dari pasangan semula dan meninggalkan anak-anak-anaknya demi merajut cinta. Continue reading “Menikah Karena Cinta”