“Bu, barusan saya dihubungi Fulanah. Alhamdulillah, beliau rindu balik ngaji lagi”
Pesan singkat yang saya terima dari mahasiswi sekaligus anak, adik, atau teman. Meskipun terpaut jauh usianya, tetapi mereka sudah saya anggap partner dalam beberapa hal.
***
Siapa pun kita, pasti pernah mengalami perasaan nyaman berbagi dan bersama seseorang atau sekelompok orang. Nyaman bercerita hangat, menularkan semangat, dan terhubung erat. Itulah yang saya alami, perasaan nyaman dan sayang terhadap orang-orang yang mau berbagi kehidupannya, setiap pekan bertemu untuk mengaji ilmu-Nya. Orang-orang yang secara usia lebih muda, tetapi nyatanya saya banyak belajar dari mereka.
Sebut saja Anggrek. Dari mereka saya belajar untuk memaknai arti berubah menjadi pribadi lebih baik. Dengan banyak kekurangan yang saya miliki, mereka semua mau belajar bersama melukis cita dan asa. Saya sepertinya sudah kehilangan kontak dengan mereka sekarang. Namun berharap, insyaallah, mereka sekarang sedang berbahagia dengan keluarga masing-masing di jalan Allah.
Cinta pertamaku pada Bougenville. Mengapa saya menyebutnya cinta pertama? Ya, karena banyak suka duka yang saya alami bersama mereka, adik-adik yang usianya terpaut 2 – 3 tahun di bawah saya. Tidak hanya sekali sepekan kami bertemu, itu kami rasa sangat kurang. Bahkan kita menjadwalkan tiga kali per pekan untuk belajar bersama. Senja gelap, hujan deras tidak menghalangi pertemuan kami. Basah kuyup, kita jemur bersama kaos kaki yang basah di halaman musala wanita, menjadi pemandangan yang biasa.
Masa-masa kuliah semester akhir, biasanya sudah terpikir untuk kehidupan lebih lanjut–menikah. Saya sampaikan, “Jika mau mengajukan proposal nikah, katamkan dahulu buku Tarbiyatul Aulad dan hafalkan minimal juz 30.” Hehe, saya hanya terinspirasi dari senior. Karena saya sendiri pun masih belum menikah saat itu. Jadi kita sama-sama belajar dan mempersiapkannya.
Tidak hanya itu, tiap bulan biasanya kita jadwalkan olah raga bersama – renang. Ya, sudah sedekat itu hubungan kami. Namun, tibalah saatnya kami berpisah. Kami sedih, bahkan ada yang menangis. Keniscayaan bertemu dan berpisah untuk dinamisasi kelompok. Dari situ kami belajar lebih dewasa dan siap dalam setiap kondisi.
Apakah cinta itu berubah? Tidak. Meskipun beberapa dari mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak terlebih dahulu, tetapi rasa cinta itu tidak pernah lekang, sampai kapan pun. Mereka tetap menjadi cinta pertama yang menguatkan di saat saya mengalami ujian berat dalam kehidupan. Merekalah yang saya miliki saat kegagalan yang menyayat hati. Dengan cinta dan ketulusan mereka, alhamdulillah, saya bisa melewatinya dengan baik.
Si Chrysant yang energik karena mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah saya bersamai waktu itu. Adik-adik muda 4 tahun di bawah saya. Namun, dari merekalah saya belajar bagaimana rasa cinta pada Al-Qur’an dengan perjuangan untuk menghafalnya, saya belajar bagaimana menggapi salah satu pintu surga, Ar Rayyan, dengan mengamalkan puasa terbaik, Daud. Juga amalan-amalan terbaik mereka dalam beramal ma’ruf nahi munkar. Pagi buta mengayuh sepeda untuk menghadiri meet-up rutin pekanan. Ada peluh keringat karena agak jauh tempatnya atau kadang perlu naik tangga 3 lantai. Itu pun kita jalani dengan senang. Saya merasakan kedamaian saat ini, mengingat sepeda-sepeda mereka yang berjajar rapi. Belum reduh redam hafalan dan diskusi-diskusi hangat mereka. Ternyata, kebahagian itu memang sangat sederhana. Adik-adik yang setelah beberapa waktu kemudian menjadi partner ‘bisnis’ yang cukup handal, alhamdulillah.
***
Yang sebenarnya rasa rindu itu adalah karena fitrah kita sebagai manusia, butuh bersama orang-orang baik yang akan menjaga di kala sendiri dan menguatkan kita di kala jatuh.
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
#BERSEMADI_HARIKE-11
Recent Comments